Penyebaran Islam ke Eropa Barat khususnya ke Andalus (kini meliputi Spanyol dan Portugal), telah dilakukan kurang dari satu abad, tepatnya 78 tahun setelah Rasulullah wafat, yaitu ketika terjadi penyebaran kekuasaan kekhalifahan Islam ke berbagai belahan dunia. Mengenali lebih jauh perjalanan Islam ke Eropa, berarti menapaki perjalanan sejarah yang cukup panjang.
Penaklukan Andalus oleh bangsa Arab merupakan babak sejarah yang cemerlang. Bermula dari pendaratan pasukan Thariq bin Ziyad di sebuah bukit yang kemudian diberi nama Jabal Thariq (Gibraltar) tahun 711 M pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Selanjutnya serangan demi serangan mampu menaklukan hampir seluruh Semenanjung Iberia (Andalus), yang ketika itu merupakan propinsi Kekaisaran Romawi.
Di antara penguasa Bani Umayyah, yang paling terkenal dan paling besar adalah Abdurrahman III (912-976 M). Ia merupakan penguasa Andalus yang cakap. Pada masa pemerintahannya Andalus dan ibukotanya Cordova mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, sampai pada puncak kejayaannya. Ia berhasil menggali sumber daya manusia dan ekonomi tanah Spanyol sehingga menghasilkan kekayaan yang berlimpah ruah, pada saat Eropa masih mengalami kegelapan. Ia juga berhasil menciptakan kondisi yang tentram dan damai, dengan tingkat toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama yang berbeda.
Kejayaan Bani Umayyah di Andalus selanjutnya berangsur-angsur memudar, muncullah dinasti-dinasti kecil yang menyebabkan disintegrasi kekuatan Islam. Di lain pihak, kaum Nasrani berusaha bersatu untuk menghancurkan kerajaan Islam. Cordova dapat dikuasai kaum Kristen pada tahun 1236 M. Pernikahan Ratu Izabela dari Castilia dan Raja Ferdinand dari Aragon memunculkan kekuatan dan melakukan penyerangan pada tahun 1469 M. Kerajaan Arab yang terakhir Bani Ahmar tak dapat bertahan, diserahkannya kunci kota Granada benteng terakhir kekhalifahan dan akhirnya ia memilih tanah Afrika sebagai tempat pembuangannya. Dengan demikian secara politik kekuatan Islam berakhir pada penghujung abad ke 15.
Setelah Kaum Kristen menguasai Andalus, mulailah dilakukan gerakan Kristenisasi di Andalus, padahal Islam telah bertahan selama 700 tahun. Para penduduk dipaksa kembali untuk menganut agama Kristen, semua literatur Arab dihanguskan. Pada tahun 1556 M, Raja Philip II membuat undang-undang agar kaum Muslimin yang tinggal di Andalus membuang kepercayaan, bahasa, adat istiadat, dan cara hidupnya. Pada tahun 1609 M, Raja Philip III mengusir secara paksa semua penganut Islam keluar dari Andalus, atau masuk Kristen. Dengan demikian sirnalah sisa-sisa penyebaran Islam ke Eropa, tinggal hanya sisa peninggalan bangunan yang kini telah berubah menjadi istana Kristen.
Sama seperti kondisi kekuasaannya, sastra (Arab Islam_red) juga mengalami jatuh bangun. Karena sastra merupakan refleksi dan dokumen sejarah yang mencakup semua sendi kehidupan yang terjadi kala itu. Semua peristiwa seperti peperangan, kemajuan keilmuan, pengembangan kota dan berbagai gejala kemasyarakatan pasti terdokumentasikan dalam karya sastra. Tulisan ini mencoba melihat kondisi dan perkembangan sastra Arab di Andalus, terutama dalam masa perwalian dan kekacauan politik selama 55 tahun. Suatu masa pembuka jalan keberanian tentara salib untuk menaklukkan Islam di Andalus. Kejatuhan kota-kota Andalus yang berantai pada masa dinasti Thawâif setelah itu, disamping menyebabkan prahara budaya dan kemanusiaan, juga memunculkan semangat nasionalisme dalam bentuk elegi sebagai ratapan terhadap hilangnya harta dan penyadaran masyarakat untuk bersatu merebut kembali mahkotanya.
Kondisi Pemerintahan Masa Perwalian dan Kekacauan Politik (976 – 1031)
Sejak Hisyam II menduduki kursi khilafah tahun 976 M, Andalus mengalami fenomena baru dalam pemerintahan karena memakai sistem perwalian. Hal ini diambil karena khalifah yang diangkat masih kecil, berumur 12 tahun. Wali pertama adalah Muhammad bin ‘Amir yang bergelar al-Manshur, seorang ambisius dan licik yang menghabisi semua teman seperjuangannya. Perdana Menteri al-Mushafy, Panglima Ghalib dan orang-orang Slaves yang setia dengan khalifah dibantainya. Sampai masyarakat Andalus tidak mengenali lagi dan lupa kepada khalifah yang sesungguhnya.
Peran wali yang terlalu besar ini mencapai puncaknya pada masa Abdurahman yang bergelar al-Makmun, ketika dia memaksa khalifah untuk mengangkatnya sebagai putra mahkota. Sampai disini mulai timbul kesadaran masyarakat Andalus untuk mengembalikan khilafah kepada Bani Umawiyah yang sebenarnya. Pada tahun 1008 M terjadilah kudeta militer yang dipimpin oleh Muhammad bin Hisyam putra khalifah sendiri. Dan dia pun berhasil menduduki kursi khilafah dengan gelar al-Mahdi. Dan berakhirlah sistem perwalian dalam pemerintahan Andalus.
Setelah terjadi kekacauan politik yang besar disebabkan perebutan kekuasaan baik antar orang-orang Umawiyah maupun persaingan dengan orang Barbar. Mereka lebih suka untuk minta bantuan kepada kerajaan Kristen di Utara, meskipun dengan imbalan penyerahan kota-kota dan benteng-benteng Andalus dan dibolehkannya tentara kristen Spanyol untuk berbuat semaunya di Cordova. Al-Mahdi lebih suka bergaul dengan Ramon III de Barcelona, sementara Sulaiman al-Mustaîn minta tolong kepada Sanco Garcia dari Castilia dalam menghadapi al-Mahdi. Model perebutan kekuasaan selama priode ini tidak jauh berbeda dari fenomena di atas. Sebuah jalan bagi kristen untuk memenangi perang salib di Andalus pada akhirnya.
Selama 22 tahun periode kekacauan politik, Andalus diperintah oleh 14 khalifah dengan jarak masa yang saling berdekatan. Kesemuanya berakhir dengan pembunuhan. Karena sering terjadinya pertumpahan darah, bencana kemanusiaan dan peradaban pun tidak bisa dihindari. Pembunuhan, pencurian, pembakaran istana dan benteng Cordova, dan jatuhnya kota-kota ke tangan tentara kristen baik melalui perebutan maupun penyerahan suka rela.
Ketidak-pastian politik di Andalus selama masa ini menghancurkan semua sektor kehidupan, industri, perdagangan, pertanian bahkan kelaparan, paceklik, wabah penyakit menular dan bencana merajalela. Rakyat kehilangan raut muka dan jati diri yang hidup dalam gelombang kegetiran dan kepahitan. Rakyat ditikam-cekam rasa ketakutan. Dan tentunya kondisi ini mempengaruhi perkembangan sastra kala itu, sampai dalam dua periode ini, sastra mengalami kemunduran dan stagnasi. Apalagi kalau dilihat dari menurunnya produktivitas karya sastra dan menyempitnya tema-tema yang dibicarakan.
Penyempitan Kultur dan Pengetahuan
Selama 55 tahun masa perwalian dan kekacauan politik, kultur dan pengetahuan tidak banyak mengalami kemajuan, bahkan sebaliknya tambah menyempit dan terbelenggu. Ada dua fenomena menarik dalam masa ini, yaitu matinya ilmu filsafat yang berkembang pesat pada masa khalifah al-Hakam al-Mustansir dan berkembang pesatnya studi bahasa Arab.
Terkuburnya filsafat lebih disebabkan intervensi pemerintah yang getol mengibarkan perang melawan filsafat dengan tujuan mengambil hati rakyat dan dukungan fuqaha. Pada masa ini terjadilah pembakaran buku-buku filsafat, mantiq dan kosmografi secara besar-besar, termasuk pembakaran perpustakaan al-Hakam al-Mustansir yang banyak menyimpan buku-buku tersebut. Bukan itu saja, para filosof dan ilmuan pun dikejar-kejar dan dipenjarakan, hal sama menimpa para pegawai perpustakaan dan sejenisnya. Suasana ini memasung kebebasan ekspresi pemikiran dan membuat takut masyarakat untuk belajar dan bersinggungan dengan ilmu-ilmu filsafat, logika dan pengetahuan lainnya. Akibat dari suasana ini pengetahuan jadi mandeg, filsafat jadi mati dan pengungsian besar-besaran para ilmuwan dan filosof ke dunia Timur untuk menghindari siksaan dan demi mendapatkan kebebasan berfikirnya. Kepedihan tragedi ini bisa dibaca dari kegetiran puisi yang dibuat salah satu penyair Andalus:
Tangisilah Cordova
Kota nan indah yang lebur
Peradaban telah terkubur
Kesejahteraan telah lenyap terkikis
Dan Semuanya kini sirna
Adapun perkembangan studi bahasa Arab tidaklah murni demi kemajuan keilmuan, tapi hanya keinginan untuk bersaing dengan ahli bahasa Arab dari Timur, seperti Mundzir bin Sa’îd ingin mengalahkan Abu Ali al-Qâly, seniman Yahya al-Ghazzâl mengalahkan Zeryâb. Mereka beranggapan bahwa dengan mengalahkan sastrawan dan ahli linguistik dari Timur berarti kemenangan sastra Andalus atas sastra Timur.
Stagnasi Sastra dan Perkembangan Semu tanpa Nilai
Politik kediktatoran yang dikembangkan pada periode ini juga berpengaruh pada sastra, baik dalam karya puisi maupun prosa. Tidak ada tema-tema baru yang muncul, bahkan tema-tema lama yang sudah mapan cenderung berkurang bahkan hilang. Aliran-aliran sastra yang pernah mapan seperti konservatif, reformis, seni rakyat dan new-konservatif semakin redup sinarnya. Kritikus sastra banyak mencatat bahwa dalam masa ini sastra merupakan lahan tersempit dan termiskin. Sangat kontras dengan kondisi sebelumnya. Sastra filsafat yang berkembang pada masa al-Hakam al-Mustansir menjadi mati sama sekali karena pemerintah yang menyatakan perang terhadapnya, disamping terjadinya stagnasi pemikiran kala itu. Tidak adanya karya sastra yang membicarakan perkembangan keilmuan yang menunjukkan kematiannya. Berbeda dengan karya sastra masa al-Hakam yang banyak menyinggung masalah filsafat, astronomi, ilmu logika, kedokteran dan sebagainya. Seperti puisi Ibnu ‘Abdi Rabbih kepada astronom Abu ‘Ubaidah berikut:
Bumi yang bulat
Menjadi titik tengah alam
Dikurung langit
Dari atas dan bawah
Dalam masa ini tidak kita dapatkan kembali karya sastra yang membanggakan keagungan dan kekuatan khilafah Andalus seperti pada masa keemasannya. Munzir bin Sa’îd pernah menuturkan kedatangan utusan Romawi kepada Abdurrahman al-Nâshir untuk menghindari serangannya dalam puisi berikut:
Manusia berbondong mengetuk pintunya
Semuanya berharap dan berangan terhadapnya
Utusan Romawi di tengah halaman istananya
Karena ketakutan akan kekuatan dan serangannya
Engkau adalah harapan semua manusia
Kau kuasai Timur dan Barat
Dari ujung Kostantinopel sampai daratan Babel
Kekuatan khilafah Islam di Andalus, menjadikan mereka sering dimintai bantuan raja-raja kristen Spanyol yang sedang bertikai. Raja Ordono yang kalah perang melawan Raja Sancho, mendatangi khalifah al-Mustanshir guna memohon bala bantuan untuk mengembalikan kekuasaannya. Abdul Malik bin Sa’îd menuturkan hal ini dalam puisi di bawah ini:
Raja mereka mendatanginya
Meminta perlindungan dan bantuannya
Tunduk atas kebesarannya
Aman dari semua musuhnya
Dan dengan kerelaannya
Dapat menghinakan musuhnya
Pada masa keemasan sebelum masa perwalian, khilafah Andalus mempunyai kekuatan tentara yang tidak tertandingi, yang kalau bergerak laksana gemuruh gelombang samudera, seperti yang diungkapkan oleh Ismail bin Badar:
Dan gemuruh tentaranya
Bak gelombang lautan
Yang memakan daratan sahara
Bungkamnya sastra dalam berbagai tema ini menunjukkan kematian tema-tema tersebut dari kehidupan Andalus. Pengemisan bantuan ke kerajaan-kerajaan Spanyol Utara, penyerahan kota-kota dan benteng-benteng ke tangan kristen sebagai imbalannya mengindikasikan kelemahan khilafah Islam di Andalus.
Meskipun demikian, dalam masa ini ada beberapa tema yang berkembang pesat sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat yang poya-poya. Namun perkembangannya sangat kosong dari nilai dan etika, seperti seruan kepada minuman, ekspresi kejadian-kejadian dalam tempat-tempat hiburan dan pengumbaran nafsu yang telanjang. Karena masyarakat yang poya-poya, kecenderungan sastra pun demikian, suka pada kebebasan dan ekspresi kenikmatan jasmani dan material dalam wujud minuman, tari perut dan sebagainya.
Diantara tema yang digemari adalah al-mujûn (tingkah laku yang hina). Sebagai contoh bisa kita simak dialog antara Abdul Malik bin Syahid dengan al-Manshur mengenai budak-budak wanita tawanan perang. Abdul malik berkata:
Meskipun tua, aku tetaplah muda
Kulindungi engkau dari segla bencana dengan diriku
Buatlah aku berterima kasih atas kebaikanmu
dan kirimkan wanita tawanan tercantik buatku
Al-manshur pun mengirim hadiah yang diminta dengan berkata:
Telah kukirim tiga perawan
Yang putihnya laksana matahari siang
Bersiap dan bersungguhlah
Karena engkau tua bangka
Di ujung sore meninggalkan siang
Semoga Allah menjagamu dari
Keletihan mencumbunya
Betapa transparan sekali permintaan panglima perang yang langsung dikabulkan wali khalifah. Dialog semacam ini sudah sering terjadi di tempat-tempat hiburan antar pemabuk atau penyair, tapi bukan dalam lingkungan khalifah. Kediktatoran membuat penguasa semena-mena termasuk perusakan moral masyarakatnya.
Diantara tema yang berkembang pada masa ini juga, pujian palsu dengan tujuan mencari penghasilan dari berpuisi. Hal ini bisa berkembang karena khalifah penguasa memerlukan pujian untuk mendongkrak popularitas dimata rakyat. Maka segala kejadian selalu dibesar-besarkan melalui karya sastra, terutama puisi, meskipun penuh dengan kemunafikan. Seperti yang dikatakan Ibnu Darrâj al-Qasthaly ketika memuji al-Manshur:
Pujian dan syukurku terhadapmu
Bukanlah karena kekuasaan yang kau berikan
Tapi karena pengorbanan jiwamu yang melindungiku
Ketulusanmu adalah karunia terbesar
Laksana surya yang menunjukiku dalam kegelapan
Tiada bayangan karunia yang membelitku selainmu
Tiada aliran air yang mengenyangkanku selainmu
Al-Darrâj diangkat al-Manshur memerintah di Qasthal, dan dia selalu memuji al-Manshur setinggi langit untuk mengekalkan kekuasaannya, meskipun penuh dengan kemunafikan.
Hal ini juga bisa kita lihat dari pujian Ibnu al-Hannâth kepada khalifah Qasim bin Hamûd agar diberi perlindungan dan bekal:
Dunia menjadi terang dengan cahaya khalifah
Dengan cahaya itu
Rembulan kebenaran selalu nampak
Meskipun cahaya siang telah menghilang
Minum-minuman keras sudah sangat membudaya dalam masyarakat Andalus. Dari rakyat kecil sampai khalifah. Seruan kepada minuman sangat nyaring terdengar. Tradisi jahiliah yang dengan susah payah diberantas al-qur’an pun berkembang lagi yang pada awal pemerintahan Islam di Andalus sangat dihindari. Lihat saja nikmatnya minum yang digambarkan oleh Ubadah bin Mâi al-Samâ berikut:
Adakah yang lebih indah
Dari gelas-gelas arak yang tergenggam di tangan
Hai pelayan, siramlah aku dengannya
Dan ambillah perak dan emas
Nafsu pun tenggelam bersamanya
Buih keharuman selalu muncul di permukaannya
Membuat gelasnya kekal di tangannya
Puisi yang bertemakan minuman arak dan sejenisnya merupakan salah satu trend baru di Andalus yang dipelopori oleh Abbas bin Nâsih dengan mengadopsi trend ini dari Timur yang dipelopori Abu Nawas, Abu al-‘Atâhiyah dan kawan-kawan. Namun pesan-pesannya bukan dititik-beratkan pada seruan untuk berbuat, tapi sekedar ekspresi dari perenungan imajinasi tentang arak, seperti ketika penyair pra Islam menggambarkan sosok wanita ideal dalam puisi erotisnya. Penggambaran wanita tersebut tidak didasari oleh nafsu sama sekali, tapi lebih menginformasikan kepada pembaca sosok ideal wanita Arab secara keseluruhan. Sosok wanita yang hanya ada dalam fikiran dan angannya, dan belum tentu ada dalam dunia realita.
Meskipun hal serupa berkembang juga sebelumnya, tapi masih banyak sastra yang mem-balance seruan kepada minuman dan justru menganjurkan untuk menjauhinya. Puisi ‘Ubadah di atas bisa kita bandingkan dengan sikap khalifah al-Muntashir terhadap para peminum yang justru dibencinya:
Para peminum telah menyempitkan dadaku
Bencana mereka membakar hidupku
Disamping perkembangan sastra yang tanpa nilai di atas, ada sastra yang berkembang dengan segala kesadarannya terutama para penyair yang sadar benar akan bahaya politik kediktatoran kala itu. Seperti kritik politik yang diungkapkan dalam penggalan bait berikut:
Wahai Bani Umaiyah..!!
Dimanakah bulan-bulan malammu,
Bintang-bintangmu
Singa-singa telah punah dari hutanmu
Dan raja pun menggenggam kancil dan rubahmu
Bait di atas untuk mengkritik orang-orang Bani Umawiyah karena mereka hanya sebagai bulan-bulanan dan perebutan antara orang-orang Barbar dan kristen Spanyol. Kadang kritik tersebut memakai bahasa yang lugas dan terang-terangan seperti peringatan keras akan bahaya situasi yang tergambar dalam penggalan berikut:
Waktunya tiba telah dekat
Kehancuran sudah diambang pintu
Semua kekhawatiranmu telah datang
Dan raja pun tak berdaya
Dalam genggaman dan kekuasaan
Sang ibu suri…
Karena banyaknya pembersihan musuh-musuh politik dan pembakaran sastrawan, ilwuwan dan filosof, dalam masa ini juga berkembang tema-tema permohonan belas kasihan dari penguasa, seperti penggalan bait al-Mushafy kepada al-Manshur berikut:
Penyesalan membawaku menghadapmu
Wahai sebaik-baik penolong
Kemarahanmu terlalu besar kepadaku
Maka bentangkanlah maaf buatku
Sesungguhnya tiada raja yang dimintai belas kasihnya
Kecuali akan segera memberikannya
Nasionalisme dalam Elegi atas Runtuhnya kota-kota
Sejak masa Thawâif, kekuatan Islam di selatan Spanyol semakin melemah, sementara kekuatan kristen di utara Spanyol semakin solid dan besar. Tidak heran jika dalam peperangan yang terjadi setelah itu, kerajaan Islam pun selalu kalah dan banyak sekali kota-kota yang jatuh ke tangan mereka. Masjid diruntuhkan, gereja ditegakkan, upeti diwajibkan atas orang-orang Islam, dan bencana kemanusiaan tidak bisa dihindarkan. Bencana politik dan kemanusiaan ini menginspirasikan spirit nasionalisme dalam diri satrawan. Jatuhnya kota dan peradaban ke tangan musuh mereka rasakan seakan terpisahnya organ dari tubuh mereka bahkan terpisah dari ruh mereka. Apalagi ditambah dengan kekhawatiran dalam kehilangan harta paling berharga yaitu Islam.
Kesedihan dengan jatuhnya kota-kota Andalus, menimbulkan kreasi-kreasi elegi sebagai ekspresi kesedihan sekaligus penyadaran masyarakat agar bersatu merebut kembali harta mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang fakih yang penyair Abdullah bin Farag al-Yahshuby yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-‘Assâl ketika jatuhnya kota Prester tahun 1063 M dalam elegi berikut:
Dan kekuatan para musyrik pun telah menembus kita
yang menjadikan kita terdiam seribu bahasa
Dengan kuda-kuda mereka menghacurkan istana
sehingga tiada bersisa baik gunung maupun setapak tanah
Mereka gerebek penghuni rumah-rumah
Tiada hari tanpa serangan yang membabi buta
Hati para muslim pun di puncak ketakutannya
Sementara pemimpin kita sangat penakut menghadapinya
Berapa tempat telah dirampasnya
Tanpa belas kasihan terhadap bayi, anak kecil, para lansia dan perawan
Berapa banyak bayi susuan yang terceraikan dari ibunya
Sehingga menimbulkan kegaduhan dan lenguhan aniaya
Berapa banyak anak yang telahir dengan ayah yang
Terpanggang di atas debu perang dan kasur sahara
Berapa banyak wanita dipaksa keluar dari rumah sucinya
Dipertontonkan dengan ketelanjangan
Bait-bait di atas ibarat dentang bel yang menyadarkan kita pada bencana kemanusiaan yang terjadi di kota Prester, sehingga mengobarkan api perjuangan untuk menyelamatkannya. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu al-‘Assâl yang terpaksa mengungsi ke Granada saat kejatuhan kota Toledo tahun 1094 M yang kejatuhannya diibaratkan dengan pakaian yang carut marut, dia berkata:
Wahai penduduk Andalus, tunggangilah kuda-kudamu
Karena menetap di Toledo adalah kesalahan
Pakaian akan ditanggalkan dari ujung-ujungnya
Dan aku melihat pakaian Andalus tertanggalkan dari pusatnya
Barang siapa yang meng-akrabi kejahatan tidak akan lepas dari akibatnya
Bagaimana manusia bisa hidup dengan ular-ular dalam satu kantong?
Meskipun bati-bait di atas mendapatkan kritikan pedas dari sisi estetisnya, namun cukup keras dalam mengingatkan akan bahaya ketidakberdayaan, seakan-akan berkata: jika kalian tetap tidak berdaya dan tunduk maka adalah kesalahan besar untuk tetap tinggal di dalam Toledo. Maka kumpulkan kekuatan dan satukan barisan untuk mengembalikan hak kalian atas kota Toledo. Kalau tidak, maka kalian tidak layak untuk mengaku sebagai penduduknya dan tinggal di dalamnya. Dengan demikian, menjauhi Toledo merupakan kewajiban agar kalian menjaga kesucian dan kemulian dari hinanya ketakutan kalian.
Contoh lain adalah 72 bait puisi yang dilantunkan oleh al-Jundy al-Majhûl dalam elegi Toledo, dengan menganggap kejatuhannya sebagai bencana yang disebabkan karena dosa dan maksiat orang Islam sendiri, sebagai mana firman Allah: “Dan kamu tidak akan terkena musibah kecuali karena perbuatanmu” dia berkata:
Kita adalah manusia-manusia yang layak mendapatkan balasan
Karena kefasikan besar dan maksiat jangak
Yang mengalir deras dalam darah kita
Meskipun demikian, al-Jundy tetap mengobarkan api jihad membela negara atas nama agama dan akidah yang telah dihinakan musuh:
Dendamlah atas agamamu dan menangkanlah
Elang-elang akan melindungi korban-korban darimu
Bencana ketiga adalah jatuhnya kota Valencia ibukota Andalus Timur tahun 1094 M. Mr. Kampitor bahkan membakar ulama’nya seperti Ahmad bin Jahhâf dan memenjarakan sebagainnya. Ibnu ‘Alqamah menggambarkan bencana tersebut dalam bukunya ‘al-bayan al-wadhih fi al-mulimm al-fâdih’. Penyair Hisyam al-Kinâni pun tidak ketinggalan membuat elegi yang bahkan banyak dipelajari oleh para orientalis Eropa seperti Engel Palencia dan Jalian Rebiera.
Ibnu Khafâjah banyak membuat elegi saat keruntuhan Valencia ini, diantara penggalan puisinya adalah:
Hai rumahku, pekaranganmu telah penuh dengan musuh
Kerusakan dan api telah membakar dirimu
Jika seorang melihat ke dalam dirimu
Akan jelas panjangnya bencana dan praharamu
Pendudukmu terkubur dalam batu-batu
Lembaran sejarah pun menuliskan
Bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dulu
Kota Valencia ini dapat direbut kembali oleh dinasti Murâbithûn tahun 1101 M.
Berbeda dengan elegi sastra Timur yang mementingkan keindahan struktur bahasa saja tanpa didasari dengan emosi dan refleksi yang nyata, elegi Andalus cenderung mudah dan tidak berbelit-belit, namun secara estetik masih didasari dengan fantasi dan ilustrasi yang jujur yang mengekspresikan apa adanya, dengan sebab-sebab berikut:
- Sangat eratnya hubungan para penyair dengan tanah airnya, sehingga keruntuhannya menimbulkan kesedihan yang tak ternilai
- Sebab agama, jatuhnya kota-kota ini di tangan musuh yang notabene berlainan agama menyebabkan mereka berapi-api berpuisi menghidupkan nasionalisme. Karena agama bagi mereka adalah harta termahal bahkan melebihi jiwa mereka sendiri
Penutup
Sebagai penutup, sengaja saya kutipkan penggalan puisi Abu al-Baqâ’ al-Rundy untuk melihat betapa keadaan menjadi terbalik akibat dari kezaliman orang Islam dan betapa besar tragedi kemanusiaan di Andalus:
Kemarin, mereka adalah raja di negerinya
Sekarang, mereka adalah hamba di wilayah musuhnya
Kalau engkau melihat mereka kebingungan tanpa petunjuk
Karena berbagai warna kehinaan dilakui mereka
Kalau engkau mendengar sayatan tangis mereka
Hatimu pun miris karena kesedihan
Betapa banyak ibu dan anak jadi terpisah
Seperti terpisahnya ruh dari badan
Betapa banyak bayi yang tak sempat tersinari mentari
Mereka laksana batu korundum dan karang
Sang atheis menggiringnya kepada kebencian
Mata menangis dan hati pun luka
Hati menjadi tenggelam dalam kesedihan
Jika terdapat di dalamnya Islam dan iman
Sebagaimana yang pernah dikatakan Umar bin Khatthab bahwa puisi bukan hanya sebagai poetical work, tapi merupakan data dan dokumentasi sejarah manusia yang bisa ditelusuri kebenaran peristiwa-peristiwa yang dikandungnya. Maka melihat realitas sejarah Andalus, harus juga melihat karya-karya puisi yang timbul sepanjang sejarahnya. Meskipun tulisan ini kurang menggambarkan timbul tenggelamnya sastra Andalus, tapi bisa dipakai untuk sekedar melihat kegetiran sejarah Islam di Andalusi akibat ulah pemeluknya sendiri. Wallahu A’lam!!
Daftar Bacaan:
1. Ahmad Haikal, Dr. al-Adab al-Andalusy min al-fath ilâ suqût al-khilâfah, dâr al-Ma’ârif, cet. 12, Kairo, 1997
2. Galal Hijazy, dr. Fi al-Adab al-Andalusy Târîkhuhu wa Nushûsuhu, Dâr al-Busyrâ, 1998.
3. Muhammad Ridhwân al-Dâyah, Dr. Târikh al-Naqd al-Adaby fi al-Andalus, Muassasah al-Risâlah, scet. 2, Syiria, 1993.
4. Ahmad al-Muqry al-Maghriby, Nafh al-Thayb min Ghusn al-Andalus al-Rathîb, Pen. Azhariyah, Kairo, 1302H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar