3 FAKTOR KRITIS DALAM KERJASAMA DAGANG ANTARA INDONESIA DAN INDIA

Oleh: Irman Musafir Sufi 

1.      LATAR BELAKANG

India adalah negara raksasa yang berada di asia selatan. India merupakan negara inti karena beberapa negara seperti Pakistan, bangladesh, nepal dan masih banyak yang lainnya merupakan pecahan dari negara besar ini. Negara ini telah memperlihatkan keampuhan potensi dalam negerinya dengan pertumbuhan ekonominya yang stabil selama beberapa tahun terakhir mengekori China.  India memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sekali pun belum digarap secara maksimal, namun perekonomian India sangat jauh lebih baik daripada Indonesia. Sekali pun demikian, reformasi dan restrukturisasi ekonomi serta privatisasi masih menghadapi berbagai kendala. Seandainya India menjalankan reformasi ekonominya dengan baik, maka sangat mungkin negara ini termasuk dalam salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Perekonomian India diperkuat oleh kehadiran industri dengan dasar teknologi yang cukup kuat. Program alih teknologi India termasuk cukup berhasil. Dalam industri Teknologi Informasi yang merupakan arus dunia saat ini, India hadir sebagai pemain kelas atas. Demikian pula dalam bidang teknologi yang lain, para teknokrat India memiliki penguasaan yang cukup tinggi hingga mampu berbicara dalam dunia teknologi internasional.

beberapa faktor yang menarik tentang Negara India dihubungkan dengan Indonesia di antaranya adalah;

.    Kerjasama Indonesia dan india telah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu.

.    Dari beberapa media dan forum bisnis di prediksi beberapa tahun kedepan India akan menjadi ancaman persaingan ekonomi global, terutama bagi negara maju seperti Amerika, Cina dan Jepang.

.    Banyaknya penduduk negara tersebut dan angka kemiskinan yang tinggi di india tidak mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, dan produksi dalam negeri negara tersebut.

.    Sejauh ini kerjasama bilateral indonesia dan india kurang terexspose media, karena itu penulis berkeinginan mendalami serta manfaat yang telah dirasakan oleh kedua negara.

1.1 Sejarah kerjasama Indonesia dan India Sebelum Merdeka

Menurut buku-buku sejarah bahwa perdagangan luar nusantara serta kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia dibawa oleh para pedagang Islam dari Gujarat (India). Hal ini dilihat dari penemuan unsur-unsur Islam di Indonesia yang memiliki persamaan dengan India seperti batu nisan yang dibuat oleh orang-orang kambay, Gujarat. Berdasarkan bukti-bukti ini para ahli membuat sebuah kesimpulan bahwa agama dan kebudayaan Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M dibawa para pedagang dari Arab. Persia dan India (Gujarat) dan berkembang secara nyata sekitar abad ke 13 M Pedagang Gujarat (India) menjual kain, kapas dan sutra. (sejarahindo.com)

1.2 Sejarah Kerjasama Indonesia India setelah merdeka

Hubungan  diplomatik kedua negara  dimulai sejak  tanggal  3 Maret 1951. Kedua negara  telah memiliki fondasi dasar yang kuat dan memiliki  persamaan untuk meningkatkan hubungan  bilateral. Kedua negara memiliki  kesamaan dalam kemajemukan suku bangsa sebagai kekuatan  nilai sosial dan budaya. Didasarkan pengalaman sejarah, Indonesia dan India secara bersama  telah memelopori  kebangkitan baru negara–negara Asia Afrika  dengan dibentuknya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Selain itu kedua negara memilki  perhatian yang sama khususnya  dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang dalam forum-forum internasional  Gerakan Non-Blok, G-77, G-15 dan kerjasama Selatan-Selatan. Namun saat itu ekonomi india cenderung masih tertutup.

Di era 1990-1an Inda memulai kebijakan baru yaitu Kebijakan melihat ke timur (Look East Policy) Titik berat tahap pertama adalah memulihkan dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk membonceng kereta cepat "macan" Asia. Banyak  pengamat yang menjelaskan bahwa keberhasilan India dan perekonomiannya merupakan buah dari reformasi ekonomi yang digulirkan Pemerintahnya sejak tahun 1991. Padahal jika diamati lebih jauh, fenomena pertumbuhan India ini juga merupakan hasil dari kebijakan substitusi impor pada awal kemerdekaan dan revolusi hijau sejak tahun 1965. Reformasi 1991 secara khusus bertujuan untuk meliberalisasi pasar domestiknya dengan orientasi ekonomi pasar yang didorong kuat oleh produk-produk informasi teknologi dan jasa-jasa bisnis termasuk outsourcing. Berbagai hutang pemerintah jangka pendek dan menengah kepada banyak negara dan lembaga donor telah dilunasi kecuali beberapa hutang bilateral jangka panjang dengan negara-negara tertentu.

Selain itu, kebijakan mata uang India dirubah untuk mengikuti pasar. Cadangan devisa ditingkatkan hingga mencapai US$ 179 Milyar dengan kewajiban pembayaran hutang jangka pendek yang hanya US$ 70 Milyar. Kemudian peningkatan populasi penduduk terus ditekan dari rata-rata 2% pada awal kemerdekaan menjadi 1,5% pada akhir tahun lalu. dan sekaligus produsen untuk produk lainnya. Sebagian dari mereka bekerja di sektor UKM yang terus menjadi motor penggerak ekonomi India karena daya tahan dan adaptasinya terhadap perubahan lingkungan pasar.

Dalam bidang politik,  India merupakan salah satu  kekuatan  demokratis terbesar  di dunia dengan melihat jumlah penduduk dan sistem pemilihan umum yang bersifat demokrasi. Sementara Indonesia  juga telah diakui dunia sebagai  salah satu kekuatan demokrasi di dunia.

Persamaan  sejarah  dan  kesamaan visi dalam memperjuangkan kepentingan Negara berkembang merupakan modal dasar yang dapat digunakan sebagai  peluang  peningkatan potensi kerjasama bilateral. GDP India sebesar USD1,8 triliun dan GDP Indonesia USD700 miliar. Maka gabungan GDP kedua negara mencapai USD2,5 triliun, suatu jumlah yang cukup besar. Selain itu, dengan jumlah penduduk yang besar, dua negara  juga termasuk dalam pasar yang paling menjanjikan di dunia. Kesamaan-kesamaan yang dimiliki  antara Indonesia dan  India  akan menjadi potensi dasar dalam peningkatan hubungan dan  kerjasama  bilateral antara  Indonesia dan  India.

Namun kedekatan historis kedua negara (yang juga terus tergambar dalam saling dukung secara politik pada berbagai forum multilateral), ternyata belum mampu ditingkatkan dalam bentuk hubungan bilateral yang lebih nyata, terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan, dan sosial budaya.  Indonesia cenderung mendekatkan diri dengan China, suatu kekuatan baru yang kini menjadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya Asia Pasifik. Padahal hampir seluruh negara di dunia ini melirik India sebagai pasar yang menarik karena pertumbuhan ekonominya yang konsisten sekitar 7% per tahun dan jumlah penduduk yang mencapai 1 milyar lebih dengan jumlah kalangan ekonomi menengah mencapai 300 juta orang lebih




2.  TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui faktor kritis apa saja yang menentukan kerjasama joint venture antara Indonesia dan India.

3.  PEMBAHASAN

Pada dasarnya kedua negara memiliki tantangan dalam negeri yang sama, yaitu pencapaian pertumbuhan inklusif dalam negeri (inclusive growth). India memiliki kelebihan dalam bidang riset dan pengembangan teknologi. Sumber daya manusia yang ahli, menjadi pionir dalam teknologi IT services, berpengalaman dalam pembangunan daerah pedesaan dan microfinance. Namun India juga memiliki tantangan dalam penanganan penyediaan suplai makanan, penyediaan transportasi dan energi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan populasi dan ekonominya.

Di sisi lain, Indonesia mempunyai sumber daya pertanian, pertambangan, energi serta lahan yang luas. Indonesia juga mempunyai tantangan yang sama di bidang penyediaan suplai makanan, pembangunan daerah pedesaan, microfinance, serta pembangunan infrastruktur dan teknologi. “Kesemuanya itu bagian dalam incvlusiveness strategy.

3.1 Fakta Kerjasama Ekonomi Indonesia dan India

Kerjasama ekonomi antara Indonesia dan India mengalami beberapa perkembangan sebagai berikut:

3.1.1     Perdagangan Bilateral:

.     

Indonesia merupakan pasar terbesar kedua bagi india di pasar ekspor  ASEAN (setelah Singapura) dan salah satu tujuan ekspor diantara antara negara-negara berkembang. Hubungan sebagai mitra ekonomi kedua negara juga terus tumbuh kuat lima tahun terakhir. Dari USD4 miliar di tahun 2005, menjadi USD12 miliar di tahun 2010. investasi India di Indonesia telah berkembang dari USD11,6 juta di tahun 2007, menjadi USD44 juta di tahun 2010. India adalah pembeli terbesar Crude Palm Oil (CPO) Indonesia dan importir produk pertambangan, minyak dan kertas. India ekspor produk olahan minyak, gandum dan beras, gula dan produk besi dan baja ke Indonesia. Namun, masih ada potensi yang belum dimanfaatkan untuk pertumbuhan lebih lanjut.

3.1.2        Investasi/Joint Venture/Proyek:

Fakta mengenai joint venture antara Indonesia dan India di Indonesia dan India cukup menarik, saya ulas sebagai berikut:

3.1.2.1 Investasi India di Indonesia

Sebenarnya Terdapat pula hambatan di pihak Indonesia dalam kerjasama dengan India terutama dibidang investasi, Hambatannya adalah yang pertama regulasi, kedua prosesnya, ketiga peran pemerintah.

Dalam hal regulasi yang paling sulit adalah pembebasan lahan. contoh proyek tol yang akan dibangun. 
Yang kedua, permasalahan proses yang harus dilalui para investor sangatlah sulit. Contoh, bila ada investor yang tertarik untuk berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, tapi investor tersebut tidak tahu harus datang kemana, apakah ke Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan atau ke lembaga yang terkait lainnya.
Terlebih lagi kalau mereka berinvestasi di daerah, proses perizinannya sangat berbelit, apakah kepada Gubernur, Bupati atau Camat. Untuk itu.
Selanjutnya, hambatan ketiga adalah mengenai peran pemerintah dalam setiap proyek yang dijalankan pihak swasta. Dalam setiap proyek yang akan dibangun, peran pemerintah sangatlah kurang, hal ini menyebabkan proyek tersebut tidak berjalan atau terkesan maju-mundur.

Contoh proyek pembangunan rel kereta dari Manggarai ke Bandara Soekarno-Hatta. Proyek ini sebenarnya dikualifikasi, dan sudah tender.

Namun sampai saat ini belum jalan, pemerintah juga belum bisa memberi jaminan. Hal ini dikarenakan pemerintah kurang tegas dalam menjalankannya. Karena itulah proyek ini terkesan maju-mundur.

Namun faktanya Ada lebih dari selusin usaha manufaktur besar India bersama di Indonesia dengan partisipasi India langsung atau dibiayai oleh luar negeri India. Sebagian besar investasi tersebut dibuat pada 1970-an dan 80-an, dan pada kenyataannya sampai dengan 1985 India adalah termasuk lima investor teratas di Indonesia. serat sintetis dan industri baja dengan India menjadi 5 investor teratas di Indonesia hingga 1985. Perusahaan India besar yang didirikan sendiri dalam fase ini termasuk, Group Lohia (Indorama Synthetics), Ispat Group (Ispat Indo), Aditya Birla Group (memiliki empat unit dalam industri tekstil dan benang) dan Kelompok Tolaram antara lain investasi utama dalam bidang serat sintetis, tekstil, garmen, baja dan alat-alat tangan. Perusahaan-perusahaan India yang besar dengan aset di Indonesia termasuk Aditya Birla Group (Indo Bharat Rayon-), SP Lohia Group (Indo-Rama Synthetics), Ispat Group (Ispat Indo-), Jaykay Files Indonesia, Gokak Indonesia, dan Essar Dhananjaya. Secara keseluruhan, investor India mempunyai sekitar US $ 1,5 miliar aset di Indonesia dan hasil tahunan perusahaan-perusahaan ini adalah antara US $ 1 - 1,5 miliar. Sejumlah besar perusahaan India telah terlibat dalam memasok peralatan untuk dan melakukan proyek di Indonesia. Ini termasuk WAPCOS, IRCON, ritual, stup Konsultansi India Ltd, TCIL, Punj LLOYD, KEC Internasional, TELK Ltd, BHEL dan Pelat Bharat Heavy. NIIT / APTEC / LCC Infotech telah mendirikan Pusat Pendidikan TI di Indonesia. Reliance, Kirloskars dan Thermax mempertahankan kantor perwakilan di Indonesia. Bajaj Auto adalah dalam stadium lanjut mendirikan perusahaan patungan untuk perakitan / produksi tiga roda dan kendaraan roda dua di Indonesia. IRCON saat ini penawaran untuk Proyek Pembangunan Jalan di Indonesia dan mengeksplorasi Rehabilitasi Kereta Api dan Proyek Konstruksi serta prospek lokomotif leasing. STC dan MMTC telah peserta aktif dalam perdagangan dengan Indonesia.

Meskipun hubungan perdagangan diformalkan dengan penandatanganan Perjanjian Perdagangan pada tahun 1978, namun belum ada suatu forum untuk pembicaraan periodik antara kedua negara. Upaya bilateral direvitalisasi dengan Pertemuan yang pertama India-Indonesia Komisi Bersama (JCM) diselenggarakan di Yogyakarta pada September 2003. Pertemuan menghasilkan pembentukan kelompok kerja Ahli India Indonesia dengan tujuan utama meningkatkan dan diversifikasi perdagangan bilateral dan hubungan investasi. Sejauh ini, telah bertemu tiga kali JCM dengan pertemuan terakhir di tahun 2007, menghasilkan sebuah "Rencana Aksi" yang komprehensif di daerah terdiri dari perdagangan, infrastruktur, dan investasi. Ini menggarisbawahi dukungan politik yang semakin meningkat untuk proses bilateral yang akan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk memperdalam hubungan ekonomi antara kedua negara.

Kemajuan terbaru dalam perekonomian Indonesia dan perubahan politik yang menyertainya telah mendorong penekanan lebih besar pada investasi dalam industri baru. Ada pergeseran yang berbeda dari dasar industri bahan baku untuk mobil, infrastruktur, energi, dan jasa. TVS Motor Chennai telah menginvestasikan US $ 45 juta di sebuah pabrik sepeda motor di dekat Jakarta sementara Bajaj Auto adalah mengkonversi tradisional tiga roda ke CNG bertenaga dan meluncurkan yang baru dua roda model 'Bajaj Pulsar' di pasar Indonesia pada November 2006. Berbagai perusahaan swasta juga melakukan investasi di daerah seperti pertambangan batubara, perkebunan untuk bio-bahan bakar dan ekstraksi mineral. Seiring dengan investasi dalam industri baru, pemain India yang baru sudah mulai membuat sebuah entry ke pasar Indonesia. Perusahaan seperti Tata Power Company Limited dan Essar Steel Limited mencari untuk berinvestasi dalam energi dan baja bersama dengan raksasa sektor publik seperti Aluminium Perusahaan Nasional Terbatas (NALCO), National Thermal Power Corporation (NTPC), dan India Rail Teknis dan Jasa Ekonomi terbatas (ritus).

3.1.2.2  Investasi Indonesia di India

Investasi Indonesia di India agak rendah dan peringkat ke-36 dalam aliran FDI (Foreign Direct Investment) ke India. Meskipun telah ada peningkatan partisipasi oleh kelompok-kelompok Indonesia khususnya di West Bengal, iklim peraturan ketat di India dianggap sebagai pencegah utama untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang ingin berinvestasi di jalan besar. Terbatasnya penerbangan langsung antara kedua negara dan persyaratan visa ketat oleh India telah lebih lanjut terbukti menjadi penghalang untuk partisipasi lebih besar pengusaha Indonesia di India.

.

3.2 Faktor Kritis dalam Joint Venture antara Indonesia dan India

Melihat minimnya investasi yang dilakukan oleh Indonesia di India, setidaknya terdapat 3 faktor kritis yang menentukan dalam hubungan kerjasama Indonesia India:

3.2.1     Faktor Rekanan – Kepercayaan dalam berinvestasi

Dalam melakukan joint venture factor trust adalah factor kritis utama dan menentukan dalam kerjasama, pengusaha Indonesia saat ini ratra-rata enggan untuk melakukan investasi bisnis di India karena kesulitan dalam memilih partner bisnis India. Kekurangan pengetahuan mengenai karakter bisnis orang India serta pengalaman buruk yang dialami menyebabkan pengusaha Indonesia lebih memilih rekanan Negara lain seperi China dibandingkan dengan India. Masih terdapatnya keengganan di kalangan pengusaha Indonesia untuk mengadakan kontak/investasi dengan  pengusaha India antara lain karena pengalaman buruk melakukan  hubungan  bisnis dengan India. Disamping itu, terdapat citra yang kurang baik mengenai pengusaha India di kalangan birokrasi, akademisi dan dunia bisnis.

Persepsi pengusaha Indonesia terhadap pebisnis menganggap bahwa karakter bisnis mereka adalah cerminan dari perilaku keseharian orang India, Masyarakat India terkenal dengan sifat keras kepala dan tidak mudah mengalah namun didukung oleh daya nalar yang sangat logis. Hal ini tercermin dari perilaku mereka dalam berkendara di jalan raya. Mereka akan selalu berusaha berjalan di tengah tanpa peduli pengendara lainnya. Mereka baru akan bergerak ke pinggir jika ada mobil lain di belakang yang mengklakson mereka berulangkali. Namun setelah mobil belakang lewat menyusul, mereka akan kembali ke tengah jalan. Mungkin kata yang paling populer di India ialah Horn Please yang tertulis di belakang truk atau bis. Kata ini mencerminkan betapa keras kepalanya mereka. Namun mereka sangat logis dalam arti selalu berusaha memutuskan sesuatu setelah mempertimbangkan dampak baik dan buruknya. Mereka akan menepi setelah sadar bahwa mobil belakangnya melaju lebih cepat.

Selain itu mereka juga sangat agresif dalam mempertahankan pendapat dan mempengaruhi orang lain. Senggolan di jalan adalah hal biasa. Jika hal ini sampai terjadi maka mereka akan saling beradu argumen. Biasanya akan selesai dengan sendirinya tanpa ada kompensasi apa-apa karena saling ngotot merasa dirinya paling benar.

Orang India juga dipersepsikan sering menipu. Padahal yang mereka lakukan umumnya ialah bagaimana bermain aman dengan memanfaatkan hukum dan peraturan yang ada. Menurut Gurcaran Das, India digerakkan berdasarkan hukum (law) sedangkan China berdasarkan perintah (order). Dengan kata lain masyarakat India telah terbiasa diatur oleh hukum dan peraturan. Mereka akan melakukan bisnis dengan memanfaatkan celah dalam hukum dan peraturan yang ada.

Atase Perdagangan di KBRI New Delhi pernah menceritakan pengalaman sebuah perusahaan sabun mandi dari Indonesia yang rugi di India hanya karena tidak mempelajari dengan baik aturan tentang merk dagang. Padahal perusahaan ini telah berhasil memiliki pangsa pasar yang cukup baik sebagai pendatang baru. Namun pengusaha sabun India mencium hal ini dan bergerak terlebih dahulu untuk mempatenkan merk sabun dari Indonesia tersebut, yang menurut aturan perdagangan di India diperbolehkan (prinsip siapa cepat dia dapat) dan kemudian hanya pengusaha India inilah yang kemudian memiliki hak jual produk bermerk tersebut. Orang lain tidak boleh menjual produk dengan merk yang sama di pasar India. Akhirnya pengusaha sabun Indonesia tersebut hanya bisa gigit jari.

3.2.2     Faktor bisnis internal – Produk dan pasar

Faktor bisnis internal seperti produk dan pasar aalah hal yang sangat penting dalam melakukan kerjasama, karena pluralitas masyarakat India memberikan peluang bisnis yang tinggi disamping itu pula memerlukan pemahaman pasar dan produk yang akan kita pasarkan. Menurut seorang konsultan asal India yang juga penulis Winning in The Indian Market, Rama Bijarpurkar, kesalahan terbesar adalah jika pebisnis punya pemikiran bahwa hanya ada satu India. Ia mengatakan bahwa hal yang membingungkan orang tentang India adalah, apapun yang Anda nyatakan mengenai India, kebalikannya juga benar. India punya hotel bintang lima, kontras dengan kemiskinan yang mendera masyarakat. Dikotomi ini memang ada di masyarakat.

Ketika memasuki pasar India, pertanyaan yang harus Anda jawab adalah, India mana yang menjadi sasaran Anda? Apakah mereka yang berpendidikan? Mereka yang kaya? Ataupun masyarakat miskin? Intinya Anda harus memikirkan masalah apa yang mereka hadapi dan bagaimana solusi yang Anda tawarkan kepada mereka. Jika tidak, maka kegagalan akan mengikuti Anda.

Banyak cerita kegagalan bisnis dalam memasuki pasar India: Kellogg, karena orang India tidak mau memakan sereal dingin untuk sarapan; Mercedes, karena mereka memperkenalkan model yang lebih lama dan murah, padahal konsumen India menginginkan kendaraan terbaru, seperti halnya harga lebih murah; Coca-Cola, karena botol yang terlalu besar, harga terlalu mahal, dan merek yang terlalu Amerika; Levi Strauss, karena harga jeans yang relative lebih mahal dibandingkan dengan celana jeans biasa, sehingga rentan untuk ditiru; dan Novartis, yang gagal dalam mengamati hambatan regulasi dan hukum paten dan menemukan bahwa obat kankernya yakni Gleevec tidak terlindungi dari tiruan generic di pasar India.

Seluruh masalah kegagalan mereka adalah tidak memahami lingkungan pasar dan operasional pasar dengan baik, tidak menjalin kerjasama dengan partner yang baik, serta tidak mengembangkan produk (dengan harga) yang tepat untuk konsumen India. Sebalknya, perusahaan yang berfokus untuk melakukan segmentasi yang jelas berhasil menaklukkan pasar India.

L’Oreal misalnya, pertama kali memilih untuk menargetkan segmen high-end melalui cat rambut premium, dibandingkan dengan memasuki mass-market dengan shampoo, conditioner dan produk lainnya, Sekarang, mereka juga menyasar segmen menengah ke bawah, misalnya dengan menjual shampoo Garnier ke dalam sachet yang hanya dijual beberapa rupee saja. Ini adalah replikasi strategi ‘bottom of the pyramid’ yang dilakukan Hindustan Unilever.

Reebok juga mengawali bisnisnya di India dengan menargetkan segmen premium. Sejak menjual apparel dan memperluas targetnya kepada segmen wanita, mereka hampir melipatgandakan penjualannya dari $59 juta pada 2004 hingga lebih dari $100 juta saat ini. Dulu, mayoritas penjualan berasal dari produk yang dijual seharga $20-$45, hingga kini penjualan lebih banyak dari produk senilai $45-$90, dan sebagian besar dari keputusan perusahaan untuk menargetkan pasar wanita. Saat ini, Reebok sudah memiliki lebih dari 500 toko di India, dengan pangsa pasar sebesar 51%. Bahkan pada September Reebok membuka toko terbesarnya di Hyderabad, salah satu pusat India.

Coca-Cola dan Pepsi, yang penjualannya melemah pada 1999 ketika mereka menaikkan harga sebanyak 1 rupee menyadari bahwa botol yang lebih kecil (200 ml, bukan 300 ml) dan menurunkan harga dapat mendongkrak penjualan. Saat ini, bisnis Coca-Cola fokus pada botol gelas yang lebih kecil dan bisa dikembalikan, dijual sekitar 5 rupee (13 sen). Namun kemudian disadari bahwa pesaing utama Coca-Cola bukanlah Pepsi, melainkan air, teh, kopi dan jus buah. Kini mereka berkonsentrasi pada strategi growth dalam mengembangkan minuman non-karbonasi.

Tidak hanya perusahaan consumer goods yang sulit mencapai pasar India. Hal yang sama juga dialami oleh perusahaan B2B. Autodesk, misalnya, berusaha untuk menjual layanan software di India pada1993. Namun, mereka mengenakan harga yang terlalu tinggi untuk pasar di India (harga yang setara di AS), sehingga penjualannya lambat. Sehingga Autodesk mengenakan harga baru dan penjualan melonjak.

Partner lokal yang bagus juga bisa menjembatani perusahaan dalam mengatasi masalah regulasi dan memahami konsumen India. Yum Brands, yang memiliki KFC, misalnya, harus menarik diri dari India pada 1997 setelah 3 tahun beroperasi akibat masalah regulasi dan franchise, yang juga memicu penyerangan terhadap restoran KFC oleh para Anti-Amerika dan anti-globalisasi. Namun KFC kembali ke India tiga tahun lalu setelah perubahan regulasi yang memungkinkan Yum untuk memiliki outlet. Kini, dengan operasional yang dijalankan oleh partner lokal, KFC menjadi restoran yang populer di India.

3.2.3     Faktor Lingkungan – Kebijakan pemerintah, Birokrasi dan infrastruktur

Kebijakan pemerintah dalam hal berinvestasi juga merupakan factor penting dalam joint venture Indonesia dan India, karena hubungannya sangat erat dengan implementasinya. Kebijakan India dalam hal investasi cenderung protektif, India membuka peluang investasi tetapi dipihak lain juga memberikan hambatan-hambatan untuk melindungi investor lokalnya, namun hal ini menjadi rumit ketika berhubungan dengan pemerintahan.

Pemerintah India sejak pertengahan 1990 sangat berhati-hati dalam hal ini yang memberikan kesan bergerak sangat lambat. Sistem tarif bea masuk masih membingungkan dan seringkali para pebisnis terjebak di dalamnya. Hal ini diperparah dengan proses birokrasi yang masih sangat lambat, kurangnya pember-dayaan intellectual property right, inefisiensi pada tubuh pemerintah, dan juga tingkat korupsi yang masih tinggi.

Di India system politik yang dianut adalah system politik parlementer, dimana posisi politisi sangat kuat namun pemerintah sangat lemah karena partai cenderung berebut kekuasaan, hal ini mengakibatkan perubahan kebijakan sangat cepat dan tidak jelas arahnya, prosedur tidak efisien, buram dan Sewenang-wenang Prosedur Layanan Sipil tentang investasi, impor dan perpajakan, dan pelaksanaan hukum dan peraturan, dll tidak cepat dan tidak konsisten. Persoalan bertambah rumit karena tiadanya kepastian dan transparansi peraturan, yang di setiap negara bagian berbeda-beda. proses birokrasi yang masih sangat lambat, kurangnya pember-dayaan intellectual property right, inefisiensi pada tubuh pemerintah, dan juga tingkat korupsi yang masih tinggi.

Dalam hal perdagangan penentuan tariff tinggi terhadap produk-produk Indonesia sangatlah mengganggu, Pemerintah India menerapkan tarif Bea Masuk (BM) yang tinggi untuk CPO dari Indonesia yaitu sekitar 60%. Tingginya tarif bea masuk merupakan hambatan utama ekspor produk Indonesia ke India. Masih banyak barang-barang Indonesia yang masuk ke India terkena kebijakan anti dumping duties, sebagai upaya pemerintah India melindungi industri dalam negeri dari masuknya produk sejenis dari negara lain (termasuk Indonesia). Sementara itu sejak tahun 1978 sampai Desember 2003 ada 3 (tiga) komoditi ekspor Indonesia yang telah terkena tindakan safeguard, yaitu carbon black, phenil dan vegetable oil. Dalam bidang perdagangan Pemerintah India sering menuduh negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) melakukan Dumping dalam usahanya melindungi industri dalam negeri, namun India sendiri melakukannya dengan mengenakan pembatasan-pematasan.

Pemerintah India sejak pertengahan 1990 sangat berhati-hati dalam hal ini yang memberikan kesan bergerak sangat lambat. Sistem tarif bea masuk masih membingungkan dan seringkali para pebisnis terjebak di dalamnya.  India memang sedikit protektif dalam hal investasi, India mengundang investasi berbentuk FDI (Foreign Direct Investment) dalam jumlah terbatas. Namun di lain pihak, India mempersilahkan pengusaha lokalnya untuk berkembang dan mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang masuk ke India. Hal ini bahkan membuat mereka mampu bersaing di tingkat global dengan perusahaan-perusahaan multi nasional lainnya

Dalam penentuan tarifpajak terkesan diskriminatif, Pajak Corporate pajak perusahaan untuk perusahaan-perusahaan domestik adalah 35%, sedangkan untuk perusahaan-perusahaan asing adalah 40%.

Pajak daerah pada penjualan yang sangat tinggi, dan aturan perpajakan yang berbeda oleh pemerintah daerah dan Negara bagian.  Pembatasan atas pinjaman luar negeri dari kantor pusat Jumlah pinjaman kantor pusat membuat untuk cabang-cabang mereka di India terbatas pada 10 juta dolar atau 15% dari modal ekuitas cabang. Pembatasan pada modal modal asing untuk bank-bank asing dibatasi sampai 49%.

Kebijakan Industri seperti ini akhirnya  tidak konsisten, peraturan dan aturan sering dan tiba-tiba berubah. Perusahaan-perusahaan asing yang telah dibebaskan tariff ternyata tiba-tiba bias dikenakan tariff. Dalam hal peraturan tenaga kerja juga cukup rumit, Peraturan dan Perlindungan Tenaga Kerja Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Industri, dalam hal bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 karyawan yang memPHK karyawan, harus memperoleh izin dulu dari pemerintah negara bagian. Padahal sangat sulit untuk mendapatkan izin tersebut dari pemerintah negara bagian, tidak hanya peraturan ini secara langsung mempengaruhi perubahan rencana bisnis yang fleksibel, tetapi juga membuat sulitnya penutupan bisnis. Dalam pasar di mana kebijakan bisnis yang keluar tidak fleksibel, sulit untuk menarik investasi baru.

Adanya peraturan mengenai sertifikat tanpa keberatan juga menjadi masalah,  Peraturan tentang Sertifikat tanpa Keberatan (NOC) menyebutkan Jika bisnis asing dengan penyertaan modal atau kemitraan teknis di India ingin mendirikan usaha patungan baru dengan bisnis India atau anak perusahaan yang dimiliki 100% baru, syarat wajibnya adalah mendapatkan Sertifikat tanpa keberatan (NOC) dari mitra yang ada. Meskipun deregulasi yang memungkinkan perusahaan asing untuk memiliki 100% penyertaan modal asing di bidang yang telah dilaksanakan, peraturan NOC memiliki efek negatif pada deregulasi. Selain itu, dalam kasus di mana NOC dikeluarkan, ada berbagai hambatan untuk bisnis, termasuk permintaan untuk sejumlah besar uang dari perusahaan mitra yang ada.

Dalam Peraturan tentang Penanaman Modal Asing, ada batas atas ditempatkan pada rasio modal asing yang diizinkan di sektor-sektor seperti penjualan, maskapai penerbangan swasta, telekomunikasi, real estate, perbankan dan asuransi. Contohnya di industri penjualan kegiatan grosir untuk anak cabang perusahaan asing pada prinsipnya dilarang, dan penjualan ritel benar-benar dilarang. Disamping itu penyelundupan merajalela di di India. Hal ini juga mempercut nyali para pebisnis karena tidak terlindunginya produk-produk mereka.

Selain itu permasalahan besar lain dalam memulai bisnis di India ialah kurangnya infrastruktur termasuk jalan, rel kereta, pelabuhan, Bandar udara, pembangkit listrik dan juga telekomunikasi. Proses liberalisasi telah berjalan namun lambat dengan pembukaan sektor-sektor perdagangan secara bertahap seperti teknologi informasi, maskapai penerbangan dan telekomunikasi serta masuknya pemain swasta di pelabuhan udara, pelabuhan laut, jalan dan beberapa sektor infrastruktur lainnya. Namun jika diamati lebih jauh, kebutuhan pembangunan infrastruktur di India ini sangat besar yang memberikan peluang besar pula bagi para pebisnis dunia termasuk Indonesia.

Infrastruktur merupakan hal yang penting dalam berinvestasi karena ini adalah penunjang utama yang diperhitungkan selain biaya produksi, India masih memiliki masalah infrastruktur yang cukup pelik, hal ini berbanding terbalik dengan kemajuan pesat mereka di bidang IT.  Infrastruktur di bidang-bidang tertentu seperti tenaga listrik, jalan dan jaringan telekomunikasi belum dikembangkan dan ini adalah penghalang utama bagi pembesaran investasi luar negeri di India.

Perusahaan Asing di India diminta untuk membayar biaya tambahan untuk menghindari kerusakan mesin akibat pemadaman dan perubahan tegangan. Kondisi buruk jalan menimbulkan kerusakan pada komoditas selama transportasi. Transportasi antara Delhi dan Selatan membutuhkan satu minggu karena kurangnya jalan raya ekspres. Kerugian ekonomi yang terjadi karena waktu transportasi yang lama dan biaya bensin yang tinggi disebabkan oleh kemacetan lalu lintas di wilayah perkotaan.

Internasional telekomunikasi dimonopoli oleh VSNL dan prinsip pasar tidak bekerja. Menyiapkan saluran telepon pribadi antara anak perusahaan di India dan perusahaan induknya di Luar Negeri diperbolehkan, sementara ini dibatasi antara anak perusahaan. Juga, menyiapkan swasta komputer-baris data antara anak perusahaan diperbolehkan, namun kapasitas line dibatasi untuk 64 kilobyte per detik. Setidaknya 356 kilobyte diperlukan. Tingginya biaya transportasi karena tidak adanya jalur transportasi langsung antar kedua negara. Transport local seperti penerbangan, kereta api, sanitasi, hotel dan jaminan sosial juga belum memadai sehingga tidak mendukung sepenuhnya iklim investasi. Fasilitas umum, sampai tingkat bandara sekalipun, masih kusam dan gelap, banyak area dengan bau tak sedap. Meskipun kualitas jalan sudah baik, kondisi transportasi sangat buruk, antrian tidak teratur, mobil diparkir semau sendiri, pelayanan lama dan buruk. Di India menyerobot antrian adalah biasa, orang-orang sulit diatur, proses menjadi lamban, sehingga yang keburu karena emergensi jadi tidak sabar juga, dan nimbrung nyrobot juga. Negara yang saat ini telah memegang juara dalam TI tersebut, ternyata koneksi internet masih amburadul, sampai ke hotel-hotelnya.

Dari berbagai sumber media dilaporkan bahwa, di jalan, kendaraan saling serobot, senggolan dan srempetan sangat sering terjadi, meskipun menjadi ribut tapi “mobil tidak ditepikan”. Ujung-ujungnya mereka toh bubar begitu saja. Saking banyak kendaraan yang menyerobot dari kiri, umumnya mobil tidak menggunakan spion kiri. Bagi India, membangun transportasi masal modern dan membuat mobil bagus bukan hal yang hebat, tetapi membangun perilaku baik di jalan sangat susah. Reader’s Diggest pernah melaporkan bahwa: “Mumbai (dulu Bombay) adalah kota paling tidak bersahabat di dunia”

4          KESIMPULAN

Hubungan Indonesia dan India sudah terjalin sejak lama, ikatan sejarah cukup kuat dan dilanjutkan pada masa pasca kemerdekaan, berbagai kerjasama antara Indonesia dilakukan khususnya dibidang perdagangan dan investasi seiring dengan tumbuhnya perekonomian India secara pesat, kedua Negara memiliki kebutuhan yang saling menutupi, kepentingan-kepentingan ini menyebabkan hubungan India dan Indonesia begitu penting.

Dari fakta dilapangan ternyata India lebih banya memetik keuntungan dalam hubungan kerjasama ekonomi antar kedua Negara, dalam hal perdagangan bilateral Expor India ke Indonesia sangat significant, Indonesia juga sebenarnya mempunyai nilai export yang lumayan ke India, namun tidak bisa meningkat secara significant karena ada pembatasan-pembatasan tariff perdagangan oleh India.

India dengan Look East Policy-nya sebenarnya sudah membuka lebar hubungan perdagangan dan investasi dengan Indonesia, namun India melalui Foreign Direct Investmentnya masih melakukan proteksi terhadap investor-investor local, hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal investasi yang sangat menekan investor asing dan meringankan investor local, begitu pula persyaratan seperti sertifikat tanpa keberatan serta perijinan lainnya yang cukup menyulitkan investor Indonesia. Selain itu birokrasi sebagai hasil pemerintahan yang berganti-ganti menyebabkan tidak konsistennya peraturan baik dari esensi maupun dalam implementasinya.

Setidaknya ada 3 faktor kristis dalam hubungan kerjasama Indonesia dengan India khususnya dalam hal investasi dengan India, yaitu:

1.    Faktor Rekanan – Kepercayaan dalam berbisnis, dimana masih terdapat keengganan pebisnis Indonesia untuk bekerjasama dengan pebisnis India karena kekurangpengetahuan tentang karakteristik pebisnis India dan pengalaman buruk sebelumnya.

2.    Faktor bisnis internal – Produk dan market, kemampuan dalam memilih produk yang akan dipasarka serta pengetahuan tentang pasar

3.    Faktor lingkungan – kebijakan pemerintah, birokrasi dan infrastruktur, dimana kendala proteksi, diskriminasi, semrawutnya birokrasi dan kekurangan infrastruktur menjadi kendala.

5          REKOMENDASI

India adalah Negara yang unik dan plural  karena itu untuk meningkatkan kerjasama dalam hal investasi antara Indonesia dan India, penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1.    Sebaliknya perlu dikaji niat pengusaha Indonesia yang terkesan masih takut-takut untuk berbisnis di India. Masih sedikit pengusaha Indonesia yang berhasil masuk kesana. Peluang untuk itu terbuka lebar. Memang ada beberapa sector usaha yang masih diproteksi, diberi subsidi atau diberikan hambatan tariff atau non tariff. Walaupun memang sangat alot, Pemerintah India terus memperlihatkan niat baiknya dengan mereduksi hambatan-hambatan tersebut. Namun hal itu hendaknya tidak mengurungkan niat untuk mulai berbisnis kesana. Pelajari dengan seksama berbagai hokum dan peraturan terkait dengan produk yang akan dijual kesana. Pelajari juga sifat dan karakter para pedagang India yang akan dijadikan mitra usaha. Yang paling penting adalah untuk memulai semuanya. Memulai untuk memanfaatkan keajaiban India.

Dalam berbisnis dengan orang India harus dipelajari dan disepakati seluruh aspek dan detil teknis dari kontrak bisnis yang akan dilakukan sebelum menandatangani kontrak. Harus diupayakan jangan sampai ada celah untuk dimanfaatkan oleh mereka. Sebagai contoh jika ingin membeli komputer di India harus ditegaskan biaya apa saja yang terkait dengan pembelian komputer tersebut termasuk instalasi, purna jual, garansi dan lain sebagainya yang merupakan paket dalam satu harga. Jika tidak, pengusaha India akan memasukkan biaya lain yang tidak jelas di luar harga resmi seperti kelebihan kabel yang digunakan, ongkos pekerja yang melakukan instalasi, biaya antar barang dan lain sebagainya yang akhirnya malah total harganya jadi jauh lebih mahal.

2.    Diperlukan pengamatan komprehensif sebelum melakukan investasi di India, pemilihan segmen pasar yang tepat, pelajari maslah konsumen India, temukan solusi yang tepat. Jika yang dibidik mass-market, maka konsumen India sangat price conscious, sehingga jika harga murah maka penjualan akan meningkat. Selain itu partner local  juga dapat membantu investor kita dalam memahami karakteristik masyarakat India.

6. DAFTAR PUSTAKA

http://www.aksesdeplu.com/akses-04-laput-01.htm

http://www.nishithdesai.com/Research2011/Paper/Joint%20Ventures%20in%20India.pdf

http://sutrisnougm2010.blogspot.com/2010/03/maju-itu-bagus-tapi-jangan-seperti.html

http://www.articlecity.com/articles/online_business/article_2356.shtml

Hildelina R. 2010. Jakarta: Diktat Ekonomi Internasional,. Universitas Islam Attahiriyah

Widarmo B. 2007. Jakarta: Globalisasi dan Krisis Demokras. G. Makalah disajikan dalam Seminar  dan Lokakarya Metodologi Penelitian.

Suhadi Ibnu. 2000. Malang: Penulisan Artikel Konseptual dan Artikel Hasil Penelitian. Universitas Negeri Malang.

Universitas Islam Indonesia. 2009. Jakarta : http://www.uii.ac.id/content/view/1098/257/.  

Ediyy E. 2010, editorial majalah bisnis indonesia  http://web.bisnis.com/sektor

Setneg 2009, jakarta: http://www.setneg.go.id/index.php?option=com.

Humas 2010, Deplu, Jakarta: http://www.deplu.go.id/Pages/Embassies.aspx?IDP=1690&l=id 

 * Tulisan ini adalah tugas mata kuliah manajemen internasional di Magister Manajemen Ubhara Jaya