Dari : www.alumnialamien.com




Abdul Hadi Widji Muthari dalam artikelnya Keberadaan Tasawuf, Relevansinya di Nusantara turut menyatakan, bahwa pengaruh tasawuf sudah amat besar sejak awal sejarah Islam. Pernyataan serupa telah diungkap ribuan ilmuwan terdahulu dalam buku-buku mereka. Penulis heran, mengapa masih saja banyak otak dan hati yang anti tasawuf di Indonesia?. Banyak sebab rasional yang bisa diperkirakan, diantaranya pengaruh doktrin-doktrin wahabi yang masih buta terhadap esensi ajaran tasawuf, atau karena melihat klasikisme metode tasawuf yang kasar mata tidak relevan lagi di zaman modern ini.



Pertama, 'Uzlah (menyendiri). Seorang sufi dapat hidup ditengah-tengah masyarakat yang berwarna-warni dengan meng-'uzlahkan hatinya bersama Allah Swt, dimana orang-orang sekitarnya hidup dalam kelalaian, sedang ia tetap teguh menyebut nama Allah siang dan malam. Itulah 'uzlah yang sesungguhnya, bukan menjauhi kehidupan bermasyarakat, akan tetapi meninggalkan kekejian dan perbuatan maksiat.
Kedua, Samt (diam). Seorang sufi yang progresif akan selalu memprioritaskan berkata baik daripada diam sribu bahasa, sebagaimana titah Rasul Saw:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فاليقل أو ليصمت
Barang Siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah dia berkata baik atau diam saja.
Ketiga, Ju' (lapar). Seorang sufi dapat melakukan puasa sunnat sesering mungkin tanpa harus menahan lapar secara penuh dan total, sebab Islammenganjurkan puasa yang wajar, bukan menahan lapar secara bablas dan berlebihan. Rasulullah Saw bersabda :
لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك
Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi disisi Allah daripada aroma kasturi.
Hadis ini berbicara tentang kelebihan orang yang berpuasa secara normal, bukan yang sengaja melaparkan diri siang dan malam.
Keempat, Sahr (Bergadang). Seorang sufi dapat tidur dan istirahat secara teratur demi kelancaran ibadah dan aktifitasnya sehari-hari, tanpa mengabaikan nilai-nilai spirit yang diharapkan. Imam Syafi'i dalam sebuah kisah diriwayatkan, bahwa beliau ternyata kuat tidur tetapi selalu memimpikan Rasulullah Saw. Sungguh, itu lebih baik dan lebih diharapkan, daripada bergadang tetapi pikirannya kemana-mana dan tidak dapat apa-apa.
Diceritakan tatkala Imam Baihaqi al-Husain Ra. Berkhalwat panjang di rumah beliau, sementara orang-orang berhajat sudah lama menantikan disekitar rumah, lalu Imam al-Hasan Ra. Melewatirumah saudaranya itu dan menyaksikan berapa berhajatnya orang-orang miskin disekitar. Imam al-Hasan kemudian mengirinkan sebuah surat yang berbunyi :
إن احتياج النّاس عليكم فلا تملوها فتعود نقما
Sesungguhnya kebutuhan orang kepadamu adalah nikmat Allah untukmu, maka janganlah kau abaikan agar nikmat itu tidak berubah menjadi malapetaka.

Itulah suri tauladan yang mulia bagi tarekat-tarekat sufi di Mesir, dimana banyak pengikutnya terdiri dari orang-orang bersumber daya tinggi dan berloyalitas penting terhadap agama, bangsa, maupun dunia. Apa yang penulis peroleh sepanjang pembelajaran di Mesir berkesimpulan, bahwa ajaran tasawuf sebetulnya tidak memerlukan purifikasi, akan tetapi sudah mengalir secara alami dalam jiwa-jiwa mayoritas muslim di Mesir. Sebab melalui tasawuf, seseorang akan terlatih untuk menggantungkan cintanya kepada Allah Swt, Rasul dan Ahl al-Bait dalam setiap nafas dan kesehariannya. Ia akan rutin meningkatkan kecerdasan spiritualnya secara tepat melalui dzikir, Shalawat, wirid, dan do'a, sehingga aktifitas sehari-harinya menjadi lebih indah untuk dijalani dengan hasil yang tentunya lebih memuaskan ruhani, tiada lain karena ia senantiasa dibawah naungan dan lindungan Sang Ilahi Robbi.


Melalui pendidikan sufi yang konstruktif, seseorang akan menemukan jati dirinya, dan menyadari bahwa banyak hal yang belum diketahuinya, ia menyadari jiwanya telah kehilangan banyak hal, dan telah diselimuti beraneka nafsu. Ia telah menjauh dari kebutuhan batinnya sendiri. Namun melalui tasawuf, dan ia mulai memperoleh banyak solusi atas segala problematika hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat sana.
Seorang kolumnis dan pengamat politik ternama Mesir, Adel Hamouda, sempat beranggapan bahwa kelompok sufi adalah kelompok yang kolot, terbelakang, miskin, bodoh, pengangguran, malas, kotor, suka bertahayul, tidak berfikir, dan tidak sosialis. Akan tetapi setelah menjumpai tokoh sufi kontemporer bernama Syeikh Mukhtar 'Ali Muhammad Ad Dusuqi. Maka anggapan keliru itu seketika berubah drastis, karena beliau seorang guru sufi yang kaya ilmu sekaligus millioner (kaya harta). Beliaupun memakai kostum resmi masa kini. Hidupnya sungguh elit dan penuh kejayaan. Beliau bersih, gagah, sosialis, kreatif , produktif dan kharismatik. Beliau memiliki proyek yang sangat besar dan maju di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan irigasi. Beliau memiliki tanah kelolaan melebihi 500 Ha. Disamping itu semua, beliau seorang sufi handal yang memiliki jutaan murid dari seluruh penjuru dunia. Para ulama Azhar dan dunia pun berbondong-bondong menimba ilmunya.

Layaknya Syeikh Abu al Hasan Asy-Syadzili, sang penggagas Thariqah Syadiliyyah yang selalu mengenakan pakaian mewah, bersih dan rapi, sehingga beliau mendapat kritikan dari seseorang yang mengatakan "Engkau ini bukan seorang sufi, buktinya pakaianmu pakaian boss". Lalu ia menjawab dengan santai : "Aku adalah hamba kepada Tuhan yang kaya, bukan hamba kepada Tuhan yang miskin. Penampilanku ini menunjukkan bahwa Tuhanku kaya, sementara pakaianmu itu menandakan Tuhanmu miskin, ia tidak mampu memberimu pakaian dan makanan." Sungguh benar apa yang di isyaratkan sang Sufi As-Syadzili ra.
Al Qur'an dan as-Sunnah adalah kunci segalanya. Padanya tersembunyi segala-galanya, dan ia tetap berlaku di setiap ruang dan masa, namun sungguh, banyak hal yang masih tersirat dalam kita suci dan sunnag tersebut. Masih ada tingkatan-tingkatan lain pasca Islam. Masih ada Iman dan Ihasan, perjalanan yang sungguh misterius, wujud tasawuf dan Tarekat hanyalah gerbang terbuka bagi para peminat yang siap berjuang menjadi muslim, mukmin sekaligus muhsini progresif yang sukses duniawi wa ukhrawi.
Fagani Faishal
- Syeikh 'Abdullah al Yafi'I, Nasyr al Mahgasin al Galuyah ,hlm 403.
- HR. Al Bukhari dan Muslim
- HR. Al Bukhari dan Muslim
- Adel Hamouda, Lahzel Nour, Surat kabar Sawt Ummah Mesir, Edisi April 2004
- Sebagian di ambil dari buku Sabda Sufi, Oleh : Aziz Mawardi, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar