Oleh: Irman Musafir Sufi
Suatu ketika dalam kunjungan ke kaltim teman saya mengajak untuk melihat wanita dayak yang bertelinga panjang, katanya telinga panjang mereka menunjukkan status bangsawan yang ia sandang, selain itu telinga panjang akan dirasa lebih cantik. Selain itu telinga juga menunjukkan umurnya, misalnya umur 60 tahun maka antingnya ada 60 buah. Kebetulan ada tempat yang bernama Pampang dimana disitu hidup suku dayak kenyah yang masih banyak wanita bertelinga panjang, mereka juga masih memegang tradisi-tradisi leluhurnya tanpa terganggu dengan modernisasi. Jalan menuju kesana tidak terlalu besar, sepanjang jalan adalah hutan dan desa kecil bermunculan dekat wisata budaya Pampang, teman saya mengatakan banyak cewek korea berkeliaran disana, memang sepanjang jalan kampung saya lihat banyak wanita putih bermata sipit itulah suku dayak asli, ada cerita kawan saya dayak bahwa leluhur mereka memang dari korea, dijaman dahulu ada orang-orang korea yang dating ke Kalimantan dan bermukim, entah cerita itu benar atau tidak tapi memang mereka mirip dengan orang korea, kalo didandani harajuku pasti mirip jepang juga J.
Dari sejarahnya katanya ditahun 1960 banyak orang dayak yang pindah ke Malaysia karena alasan ekonomi, pindahnya tak tanggung-tanggung tapi bedol desa alias seluruh desa, suku dayak kenyah ini ternyata menolak untuk pindah dan memilih hidup di Indonesia meski kerabatnya berpindah semua (Hidup Timnas Indonesia!!), setelah berpindah-pindah akhirnya mereka memilih wilayah pampang sebagai tempat yang akan dijadikan tempat menetap.
Warga pampang kebanyakan bertanam, memburu ikan dan binatang hutan, mereka terus menerus mempertahankan budaya aslinya, sehingga tahun 1991 dinyatakan sebagai cagar budaya.
Dipusat desa pampang tersebu ada rumah panggung berupa lamin adat dengan tangga untuk naik, didalamnya sudah banyak orang dayak menyambut fari anak kecil sampai dengan orang tua, ada juga semacam pasar tradisional dengan harga yang super mahal, ornament dayak jadi hiasan diseluruh area dengan ukiran kayu yang khas, kemudian disajikan tari-tarian mulai dari anak-anak sampai dewasa menari dengan pakaian dan senjata khasnya.
Ada hal yang menurut saya sangat mengganggu, wisata budaya ini cenderung tidak terorganisir atau tidak terkoordinir oleh pemerintah setempat misalnya untuk masalah biaya masuk, menurut saya untuk melihat keunikan seperti itu sangat tidak logis dan terkesan materialistis, saat kami masuk lamin adat kita harus membayar karcis, kemudian mau nonton pertunjukan kita harus bayar lagi, padahal tempatnya sama, kemudian kita memotret harus bayar, berphoto dengan orang sekitar bayar perorang 20.000 per orang (bayangkan yang harus saya bayar saat memotret sekumpulan anak anak), memotret orang telinganya panjang bayar 40.000 bawa kamera harus bayar, merekam video bayar sekitar 150.000. Saya fikir mungkin inisiatif warga desa saja, namun jujur saja hal ini menjadikan saya kapok kembali kesana karena sangat tidak sebanding biaya perjalanan termasuk tiket, photo2 dsb dengan acaranya sendiri, karena dana yang harus dikeluarkan tidak sedikit, semua barang bahkan minumanpun sangat mahal. Mungkin ini bisa jadi perhatian pemerintah untuk mengorganisir wisata budaya tersebut sehingga wisatawan dapat menikmati wisata tersebut dengan nyaman dan logis, jika hal ini tidak dilakukan mungkin bukan cuma saya yang kapok untuk datang lagi ke pampang. Wallahu a'lam
Hello, as a UiTM student, may I use your picture as my reference and put your name as a credit to my magazine title as Tari's. I hope you accept my request.
BalasHapus