Senin, 19 September 2011

MEMAKNAI PUISI SOSIAL RINA FITRIATI

Oleh: Rina Fitriati 

Geulis anaking, 
Tuh tingali 
Nu ngariung,ngajentul nangkeup tuur 
Ngungun bangun alum 
Mun hujan,kahujanan...tangtu 
Mun panas,kapanasan...tangtu 
Tong boro mikiran jeung naon ayeuna dahar? 
Teu kapikiran baju anyar 
Komo jalan-jalan jiga urang 
Kasep anaking, 
Tuh tingali 
Budak sapantar,pating berebet ngudag angkot nu ngabiur 
Ngarep-ngarep receh ti batur 
Bari ngahariring teu puguh catur 
Tong boro mikiran meuli cocooan 
Teu kapikiran momobilan 
Komo deui maen game on line 
Geulis,kasep anaking.... 
Poma hidep kudu syukuran 
Ka gusti nu murbeng alam 
Hirup ulah adigung adiguna 
Rumasa sagala aya 
Kudu balabah,lain awuntah 
Sing nyaah ka sasama 
Ka jalma leutik pangpangna 
Sangkan urang dipikanyaah ku MantenNa... 

Ini adalah karya terbaru Rina Fitriati yang mengusung tema sosial, sebuah puisi sunda yang menurut saya lebih mudah dicerna, sederhana dalam bahasa namun sarat makna, Rina mencoba mengajak kita untuk lebur dalam konteks kecintaan terhadap sesama, Dalam puisinya tercermin kepekaan terhadap sebuah realitas sosial disekitar kita yaitu anak jalanan.

Sebuah puisi, diluar konteks makna, pada dasarnya tidak lepas dari sebuah realitas, di dalam realitas selalu terkandung puisi dan di dalam puisi senantiasa terkandung realitas. Seperti ungkapan penyair Irlandia dibawah ini:

I believe there is a poetry in everyday life
and that the poet is one
who tries to stay awake to that. 
(Brendan Kenelly

Ga faham artinya? Ini penjelasan bebasnya: kehidupan sehari-hari adalah sebuah puisi dan penyair sekadar seseorang yang berupaya membuatnya tetap terjaga (bagus banget ya bahasanya..) 

Anak jalanan, itulah realitas sekitar kita, realitas yang patut menjadi pelajaran mengenai makna bersyukur akan kehidupan kita yang lebih baik dan juga naluri kepekaan dan kepedulian, secara tidak sadar kita mulai kehilangan kepekaan kita, mungkin banyak yang menganggap anak jalanan bukan suatu hal yang mengherankan tetapi hal yang biasa sekarang, padahal fenomena tersebut adalah suatu penyakit sosial (Coba Tanya aja ke depsos). Sekarang ini kepedulian kepada saudara-saudara kita sudah mulai tergerus, orang terbiasa dan menganggap biasa para gembel, pengemis, gelandangan di jalan raya, kita tidak merasa heran melihat anak dibawah umur menjadi pengamen amatiran seadanya demi uang beberapa ribu rupiah. Padahal agama islam sangat konsern terhadap anak-anak. Ada beberapa term yang di gunakan oleh Islam terhadap konsep anak diantaranya menggunakan istilah ”waladun” (Qs. Lukman ;14), ”bunayya atau baniyun” (Qs. Lukman; 13) atau juga istilah Qurrata `ayun. Ini menandakan islam sangat serius membicarakan tentang konsep anak. 

Sastra seperti puisi sebenarnya merupakan kritik dari suatu peristiwa dan persoalan kehidupan, puisi bukan hanya buaian kata indah yang menciptakan kesenangan dan perasaan indah namun juga harus merekam kondisi social yang terjadi. Bahkan esensi atau fungsi puisi bisa sebagai media untuk membangkitkan kesadaran sosial. Ia memiliki kemampuan untuk memberikan sugesti atau provokasi kepada masyarakat demi memunculkan kesadaran akan keadaan yang tengah terjadi. Seperti juga penyair terkenal WS Rendra yang sajak sosialnya sangat fenomenal dan kritik sosialnya memberikan sugesti bahkan provokasi kepada masyarakat untuk peduli (Ga heran kalau beberapa pentas seninya dilarang pemerintah). Bagi Rendra seorang penyair harus peka terhadap masalah sosial termasuk ketidakadilan, tercermin dari penggalan puisinya dibawah ini: 

..aku bertanya, tapi pertanyaanku membentur jidat para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.” 
(Sajak Sebatang Lisong : WS Rendra, 1977) 

Memang dengan kondisi sosial yang sedikit memprihatinkan , semestinya lebih banyak lagi penyair-penyair yang menghasilkan sajak sosial dengan tujuan membangkitkan kesadaran sosial masyarakat agar nurani kita tidak mati melihat saudara kita yang terhimpit keadaan, terseret modernisasi. (Wallahu A’lam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar